Sunday, June 24, 2012

Terima Kasih karena mereka yang terbaik untuk ku

Dia Ibu Ku, walau aku tahu dia tak sesempurna yang aku mau tetapi aku bangga memilkinya. Dia ayah Ku, walau tak setampan aktor dunia dan tak segagah Arnold Schwarzenegger, tetapi aku bahagia bersamanya. Dia kakak Ku, walau terkadang menyebalkan dan aku selalu berdoa memilki kakak yang lain selain dia, tetapi jauh di lubuk hati ku sangat menyayanginya.

Sejak kecil aku terbiasa oleh ibu yang bekerja, keseharian ku di urus oleh nenek dari pihak ibu yang begitu menyayangiku, menurut ibu aku seorang anak yang pendiam. Sejak kecil aku tak banyak merepotkan orang tua, suara ku tak banyak keluar untuk bernyanyi, penurut namun sedikit sensitif. bakat ku di bidang melukis mulai tumbuh ketika di taman kanak-kanak karena itu ibu memberikan ku les melukis pada seorang tetangga di dekat rumah ku.
Keseharian ku yang lebih dekat dengan nenek tidak membuat ibu mengabaikan ku begitu saja, dalam bidang pendidikan ibu selalu memberikan yang terbaik buat ku. Suatu hari di saat aku lulus dari SMA (High School), dia berucap "andaikan kamu tak dapat ke perguruan tinggi maaf kan mama ya", karena kakak belum selesai dari sekolah kedokteran, sementara gaji seorang guru dan buruh pelabuhan tak dapat mencukupi aku untuk meneruskan kuliah ke perguruan tinggi. Aku mengaku pasrah saat itu karena untuk menyekolahkan kakak ku di kedokteran saat itu ibu ku sudah menggadaikan satu-satunya rumah yang kami tinggali ke Bank.
Aku tak ingin membuat ibu ku cemas dengan menyembunyikan kesedihan, aku tersenyum walau dalam hati ini berteriak tak adil rasanya hanya demi kakak, aku harus berhenti sampai di sini, aku juga ingin sekolah setinggi-tingginya sama seperti kakak tapi aku tak mau membuat ibu ku susah. Walau ibu sudah bicara seperti itu kepada ku. Aku tetap selesaikan SMA dengan nilai yang memuaskan, dan diam-diam aku juga mengikuti test masuk perguruan tinggi.
Siang itu dengan senyum bahagianya Ibu bergegas membuka pagar rumah ku, "Ade...kamu bisa kuliah de...kamu bisa kuliah...mama dapat rejeki Alhamdulillah..." ucap ibu mengejutkan ku. Dengan haru dia memelukku erat dan bergegas menyuruh aku untuk mendaftarkan diri ke perguruan tinggi, dengan sedikit menyimpan pertanyaan dalam hati dari mana ia mendapatkanya aku pergi mendaftarkan diri ke perguruan tinggi karena hari itu batas akhir pendaftaran.
Malam harinya ia berucap "Ade kalau akhirnya di tengah jalan kuliah mama gak sanggup lagi bayar, ade jangan marah sama mama ya, paling tidak ade udah pernah merasakan sekolah di perguruan tinggi, tapi jangan takut Mama dan Papa akan terus berusaha untuk ade sampai ade lulus jadi sarjana" ucapnya kemudian, aku hanya bisa mengangguk dan memeluknya.
Terima kasih Ibu, dengan kerja kerasnya akhirnya aku lulus jadi sarjana, walau harus tersendat-sendat dalam biaya kuliah, walau pembayaran harus di cicil setiap semester, walau harus di kejar-kejar penagih hutang, tak terasa keringatnya membuahkan hasil, "Aku Lulus....!!" teriak ku dalam hati karena saat itu ibu tak dapat mendampingiku menghadapi sidang kelulusan, masih ingat malam hari dia ikut tak tidur melihat ku yang sedang cemas mempersiapkan berkas untuk sidang kelulusan dan pagi hari ibu mengantar ku hingga pintu gerbang campus, masih kurasakan lambaikan tanganya dari angkot (angkutan umum) sambil memperhatikan ku berlari menuju gedung, aku tahu hatinya cemas hari itu dan aku yakin dalam hati kecilnya dia berdoa untukku. Sesaat dinyatakan lulus oleh tim penguji aku segera berlari menuju Wartel (telephone umum) tak jauh dari Campus, aku berteriak dalam telpon "Mamaaaa aku Lulus...!!" pekik ku keras tak ku hiraukan orang di sekeliling yang melihat ku.
Sesampainya di rumah Ibu memeluk tubuh ku erat sambil meneteskan air mata harunya atas kerja keras dan doanya aku lulus jadi sarjana. Mekipun ibu sering melupakan hari kelahiran ku karena kesibukanya di Pramuka dan mengajar sebagai guru tetapi aku yakin dia selalu memikirkan ku.


Sejak kecil Ayah ku tak pernah memukul, kalau dia marah hanya diam dan tak seribu kata pun menyapa ku. ayah ku tak pernah bernyanyi bila bertemu orang hanya sedikit suara yang keluar dari bibirnya, tetapi keisengan dan keusilanya membuat kami dekat.
Setiap pagi sebelum pergi bekerja dia tak pernah lupa mencium kening ku membangukan aku dari tidurku, selalu melindungiku dari omelan ibu ku yang marah bila aku tak rajin belajar. Tak pernah kulihat dia penat, pembawaanya selalu ceria, tak pernah bercerita karena dia memang pendiam.
Suatu hari saat dia akan menjelang pensiun dengan suara bergetar dia menceritakan masa kecilnya yang sulit dengan 14 saudara kandungnya. Untuk makan sehari-hari dan sekolah Ayah harus berdagang ke tengah laut dengan mengayuh sampan, menawarkan sekotak rokok pada anak buah kapal yang bersandar di pelabuhan, atau menyewakan petromak (lampu minyak) bersama adik-adiknya, tubuh mungilnya sudah terbiasa bekerja untuk sesuap nasi dan keperluan sekolahnya.
Dengan berurai air mata dia bercerita, dia tak ingin anak-anaknya merasakan seperti yang dia rasakan di masa kecilnya, karena itu dengan sekuat tenaga Ayah bekerja agar kami bisa melanjutkan ke perguruan tinggi, walau harus gali lubang tutup lubang istilah orang, tapi semuanya membuahkan hasil bagi dirinya, itu lah saat pertama kali aku melihatnya menangis.
Saat kedua kalinya aku melihantnya menangis adalah ketika sebuah badai dalam keluarga kami datang, tak kuasa dia bertahan, tubuh tuanya jatuh lelah tak berdaya. dalam keluh kesahnya dia ceritakan angan-angan dan harapan yang hacur. Berhari-hari dia sibuk berdiam diri di mesjid, tak di hiraukanya dunia memanggilnya, dalam kesunyian malam hanyalah doa-doanya yang terdengar, dalam riuhnya pagi hanya hanya muka lelah penuh harap menatap hujung sajadah.
Batin ku menangis tetapi aku harus tetap berdiri demi Ayah dan Ibu ku, pagi hari aku harus bekerja sore hari aku kuliah (sekolah Master/S2), malam hari aku terus mencoba menghiburnya dengan harapan dia akan kembali bangkit dari keterpurukan, walau aku tak sekokoh yang terlihat, walau sesekali aku harus menyembunyikan kesedihan ini, walau aku seorang wanita yang berjuang sendiri dengan kemapuan yang terbatas, walau aku harus menjadi badut sulap agar mereka tersenyum. Akhirnya kami bisa bersama-sama melewatinya, senyum Ayah dan Ibu adalah semangat ku untuk menjalani kehidupan dan rasa sedih mereka adalah cambuk bagi ku untuk lebih baik lagi.
Saat ketiga aku melihat dia menangis adalah ketika aku selesai dari S2 (Master School) di Universitas Indonesia, hari itu dengan wajah cemas Ayah datang menjemput ku di campus (karena saat itu dia sudah pensiun dari pekerjaanya), keluar dari ruang sidang ku lihat wajah cemasnya menanti ku. Seketika aku memeluknya dan saya bilang, "Papa Terima kasih sudah menjadi Papa yang baik untuk aku, anak Papa lulus dengan nilai penulisan A". Ku lihat senyum bahagia mengembang di wajahnya dan ku rasakan peluk bahagianya saat itu. Seketika dia terduduk dan bersujud menghadap Kiblat, "Ya Allah Papa" batin ku berucap melihat tindakanya saat itu. Dia melakukan sujud syukurnya ke pada Allah SWT atas kelulusan ku, tak di pedulikanya orang-orang di sekeliling yang melihatnya. Walau banyak teman-teman ku melihat, aku tak peduli bahkan aku bangga memilkinya. Sepanjang perjalanan pulang dia hanya terdiam dengan sesekali mengusap air yang menetes dari sudut-sudut matanya, tak berani aku bertanya tetang apa yang dia fikirkan saat itu, tetapi satu yang aku tahu, pasti dia bangga memiliki aku, Terima kasih Ayah aku juga bangga memiliki mu.

Sejak Kecil, Aku hanya punya satu kakak perempuan, tak memiliki saudara lain selain dirinya. Pernah membuat aku sedikit kecewa karena kelakuanya sampai aku berfikir seandainya ibu melahirkan seorang adik untuk ku aku ingin sekali memilki adik laki-laki, karena aku tak pernah akur dengan kakak yang sedikit egois dan mau menang sendiri.
Semasa kecil kakak suka curang dan aku mudah sekali mengalah, setiap mainan yang di belikan oleh ibu selalu harus dia duluan yang memilih kalau tidak dia akan marah. Pernah suatu hari kami sama-sama memilki koleksi perangko, kakak menyarankan aku agar koleksi kami di jadikan satu jadi kita mengumpulkan perangko bersama-sama, tetapi lama-kelamaan kenapa koleksi perangko ku yang berkurang, ternyata koleksi perangko milik aku sudah di tukarkan dengan teman-temanya sehingga dia mendapatkan koleksi yang lebih bagus lagi. Dengan kesal akhirnya aku meminta untuk di pisahkan lagi.
Bila aku punya baju baru yang ku simpan baik-baik dengan seenaknya dia memakainya, tetapi bila dia punya baju bagus tak boleh sedikit pun aku menyentuhnya.
Kakak ku penakut sama orang, setiap kakak ku bertengkar dengan temanya hanya aku yang berani melawan mereka, meskipun dia sering curang dan membohongi ku tetapi aku sayang denganya dan tetap membela dia.
Beranjak remaja, kakak tumbuh menjadi remaja yang cantik dan pandai, kulitnya yang putih dan wajahnya yang cantik serta prestasi dia yang gemilang membuat semua orang kagum terhadapnya. Aku selalu satu sekolah denganya, setiap guru yang mengenalnya selalu membandingkanya dengan ku. Aku yang tak pernah mendapat 3 peringkat besar di sekolah, suka bolos dan terlambat sekolah sangat bertolak belakang dengan kakak ku.
Di setiap kegiatan sekolah kakak tak pernah mau bersama ku, dia tak pernah mau terlihat bersama ku entah mengapa mungkin karena malu memilki adik yang tidak secantik dan sepandai dirinya. Aku ingat ketika acara Raimunas, saat itu aku masih duduk di bangku SMP, sementara kakak ku sudah di SMA, karena sekolah ku di minta kesediaan untuk membantu jadi lah kami bersama-sama di latih untuk pentas rampak gendang di acara Raimunas. Aku senang sekali bisa berlatih dengan kakak ku tetapi seperti biasa karena kecantikan dan kepandaianya kakak selalu menjadi pusat perhatian teman-teman di sana, banyak yang tidak percaya kalau aku adiknya dan kakak juga tidak pernah peduli dengan perasaan ku yang selalu sayang dan bangga memiliki kakak seperti dia.
Ketika dia masuk sekolah Kedokteran, semakin aku di acuhkan. Orang tua terlalu bangga kepadanya, dan sangat berharap akan masa depan yang lebih baik bagi mereka sehingga lupa akan perasaan ku, Begitu bangganya mereka sehingga lupa masih ada aku anak mereka, semuanya mengutamakan kakak ku, apa yang di minta kakak selalu di beri, bahkan setiap kumpul keluarga hanya kakak yang mereka kenal di keluarga besar, karena tak henti-hentinya mereka membanggakan kakak ku yang calon dokter. Namun aku tetap berfikir positif karena aku yakin suatu saat aku pasti bisa seperti dirinya, bahkan lebih darinya.
Di SMA aku kembali memasuki sekolah yang sama dengan kakak, di sana lah prestaiku mulai menaik, aku semakin bergaul dan tak ku pedulikan ketidak adilan di sekeliling ku, mereka perlu bukti bukan janji (fikir ku) karena itu aku berusaha membuktikan kalau aku bisa seperti kakak. Aku senang akhirnya perlahan Kakak mulai memperhatikan ku, setiap aku datang ke campusnya sudah mulai banyak yang mengenalku sebagai adiknya, bahkan kakak tak pernah lagi canggung mengajak ku pergi jalan-jalan bersama. Ketika dia harus pergi ke Purwokerto karena Koas (Kerja Praktek) di sebuah Rumah Sakit, aku merasa sepi tak ada lagi yang mengajaku jalan-jalan tak ada lagi yang bisa ku ajak bertukar fikiran.
Menginjak Bangku perguruan tinggi, kakak tak hentinya memberikan semangat kepada ku, bukan hanya dia tetapi seorang teman dekat lelaki kakak ku pun ikut membatu ku dalam belajar (Terima kasih buat kakak di luar sana yang sudah 8 tahun menemaniku belajar matematika dan Bahasa Inggris). Kalau saja mereka saat itu berjodoh mungkin aku akan menjadi adik yang manja fikir ku, karena kakak yang merupakan teman dekat lelaki kakak ku itu begitu memanjakan ku.

Kakak memang tak sesempurna seperti yang aku mau, dia memang tak sebaik yang aku inginkan. Tetapi dia kakak ku, anugrah dari Tuhan satu-satunya yang aku miliki, seburuk apa pun dia tetap kakak yang begitu aku sayangi.

Menjadi dewasa bersamanya karena sebuah badai dalam keluarga, membuat aku belajar dari kehidupan, tak semua yang indah itu adalah indah,  tak semua yang tampak bagus itu akan bagus, dan tak semua yang membanggakan itu akan membuat mu bahagia. Karena dari sesuatu yang tadinya kita anggap tak baik dan buruk justru akan menjadi kayu penyanggah yang kokoh bagi keluarga.


Terima kasih Tuhan, karena Mu aku memiliki mereka, karena Mu aku Bangga memiliki mereka, Karena Mu aku mencintai mereka. Walau mereka tak sesempurna seperti yang aku mau, walau mereka tak sebaik seperti yang orang katakan, walau mereka tak sehebat yang mereka kira, tetapi aku mencintai mereka karena Allah.
Hari ini 21 juni 2012 hari kelahiran ku, tak terasa kebersamaan dengan mereka membuat aku bertambah dewasa, semoga Allah SWT selalu melimpahkan BerkahNya untuku, mengiringi setiap langkah ku dan menjaga ku, memberikan ku kesehatan, memberikan ku kekuatan dan keberanian untuk bangkit menghadapi kehidupan. Akhirnya aku hanya bisa berucap "Terima kasih Ibu yang telah melahirkan ku, terima kasih Ayah yang telah menjaga ku dan terima kasih kakak yang telah membuat aku dewasa karenanya. Aku menyanyangi kalian karena aku tahu Allah mengirimkan kalian dalam hidup ku untuk menjadikan ku manusia yang kuat menjalani ke hidupan".

Friday, June 8, 2012

Adakah Penjelasan Ilmiah.....???

Penasaran dengan cerita ibu saya tentang kelahiran saya yang masih terbungkus Placenta, membuat saya mencari informasi mengenai itu di Internet dengan harapan tidak hanya saya tetapi ada yang memiliki kelahiran sama seperti saya.

ketika usia kanak - kanak saya tak pernah mempertanyakan hal ini, ketika ibu saya menyuruh saya meludahi tangan sepupu saya dengan air liur saya pada tanganya yang terkena penyakit gatal, bahkan ketika orang berkata kalau saya sakit demam minumkan saja air perasan kulit Placenta yang keluar bersama saya ketika lahir itu sebagai obatnya. Tetapi setelah dewasa hal ini sangat mengganggu saya, apa istimewanya saya kenapa liur saya dapat menyembuhkan penyakit gatal atau pun kenapa kulit Plasenta itu bisa menyembuhkan demam saya, mengapa dari kecil saya sering sakit - sakitan dan lain sebagainya.

Alhasil saya tanyakan kepada Mbah Google.com (Istilah anak gaul mbah google tahu segalanya he.he.he...), dari pencarian saya di internet ternyata tidak hanya saya bayi yang terlahir bersama Placenta, banyak bayi yang terlahir masih terbungkus Placenta seperti balon plastik dan banyak juga yang sudah tumbuh dewasa seperti saya.

Kalau menurut pada hukum alam, sekiranya bayi itu hendak dilahirkan oleh si ibu, secara otomatis kepala bayi akan memecahkan sarung atau Placenta itu sambil memecahkan air ketuban yang berada di dalam sarung itu.  Dari sudut ilmu pengetahuan juga sulit untuk menjelaskan fenomena ini.  Ada segelintir masyarakat Melayu percaya bahawa ‘bayi bungkus’ sebenarnya mempunyai keistimewaannya yang tersendiri.

Banyak yang bercerita aneh, ada juga yang menangapinya itu hanyalah sebagai mitos atau kelebihan semata yang di anugerahkan dari sang pencipta. Kalau menurut adat Jawa saya termasuk anak yang harus di Ruwat agar jalan hidup saya di mudahkan, ada juga yang bilang anak-anak terlahir dengan Placenta itu akan tumbuh menjadi anak-anak yang memiliki kelebihan supranatural, ada juga yang bilang anak-anak semacam itu termasuk anak-anak yang di berikan kekuatan dalam menghadapi kesulitan dan rintangan apa pun

Sebenarnya dari semua pencarian saya berharap ada penjelasan secara ilmiah atau medis untuk menjawab rasa penasaran ini, tetapi semua pencarian saya selalu membahas mitos dan kepercayaan sebagian orang melayu tetang hebatnya bayi yang terlahir masih terbungkus placenta ini. Bahkan banyak orang yang membuat film tentang mitos kehebatan bayi yang terlahir semacam ini.

Terlepas dari itu semua, saya percaya Allah Maha Besar hanya Dia lah yang tahu mengapa keanehan itu terjadi, dan semua yang terjadi adalah atas izin serta kehendaknya.  Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung”. (QS. 3:173). “Dan jika mereka berpaling, maka ketahuilah bahwasanya Allah Pelindungmu. Dia adalah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong [Ni'mal-Mawla Wani'man-Nashîr]“. (QS. 8:40)

Born In Caul