Friday, October 12, 2012

Serunya Pulang Kampung

Semenjak lahir sudah menetap di Jakarta membuat saya tak begitu banyak tahu akan kampung halaman leluhur saya. Setiap Pulang kampung hanyalah Medan dan Palembang yang saya selalu kunjungi, maklum nenek dari Ibu saya Tinggal dan menetap di Palembang sedangkan nenek dari Ayah saya tinggal dan menetap di Medan.

Ternyata setelah di telusuri, leluhur saya juga berasal dari Minang Kabau Sumatera Barat, di sana sudah tak ada lagi saudara dekat, yang ada saudara jauh, sepupu dari nenek-nenek saya. Wajar bila pada akhirnya saya lebih banyak pulang kampung ke Palembang atau Medan.


Jadilah pada akhirnya kami memutuskan untuk menyambung kembali tali silaturahmi ke tanah leluhur yang tak pernah kami kunjungi. Dengan menaiki si hijau yang selalu setia menemani kemana pun kami pergi jauh, akhirnya kami tiba di Si junjuang untuk sehari beristirahat di rumah saudara sepupu saya.



 Perjalanan menuju Maninjau kami teruskan pada esok harinya, sepanjang perjalanan kami di suguhi pemandangan yang indah, perjalanan yang melewati danau Singkarak membuat kami tertarik untuk makan dan mengambil gambar di sana. Indahnya ciptaan Allah SWT yang tak dapat tertndingi oleh siapa pun, namun sayang tak tertata rapi banyak sampah dan tempat - tempat berjualan yang tak beraturan di sepanjang jalan yang mengelilingi danau singkarak sedikit merusak pandangan saya, namun indahnya bukit yang mengelilingi danau bagaikan penuh misteri yang sulit di ungkapkan.

 Kami teruskan perjalanan menuju danau maninjau, sesampainya di kelok 44 kami pun di suguhi pemandangan yang tak kalah serunya, tak henti-hentinya saya berusacap syukur dan mengagumi keindahan ciptaan Allah SWT dari atas bukit. Maha besar Allah yang menciptakan alam yang begitu indah tiada duanya.

Berbagai negeri sudah saya arungi, tetapi tak ada yang seindah kampung leluhur, danau yang begitu luas di kelilingi oleh kampung-kampung dan bukit-bukit yang mengundang adrenalin kita. Awan yang berarak menyelimuti puncak tertinggi bukit-bukit yang mengelilinginya, bagaikan berjalan di atas awan saya berada di bukit itu. Seakan tak mau ketinggalan moment tersebut, dengan camerra hand phone saya terus mengambil pemandangan itu dari atas bukit kelok 44.


Sesampainya di bawah, ujung dari kelok 44 saya semakin dekat melihat danau maninjau nan indah, sawah yang menguning, dan air yang mengalir deras menambah suasana makin mempesona mata saya, ternyata kampung halaman saya indah, tak ada yang dapat menandingi keindahanya. Tiba kami di rumah leluhur, yang merupakan rumah adat turun temurun dari leluhurku. Seorang mamak (Uncle) saudara sepupu dari Ibu ku yang menempati rumah itu sendirian. Setelah isterinya meninggal menurut adat dia harus kembali ke rumah leluhurnya tak boleh menetap di rumah isterinya kembali (bila seorang pria minang menikah dia harus tinggal di rumah keluarga isterinya).

Rumah panggung yang terbuat dari kayu, entah berapa lama usianya saya tak tahu, yang pasti itu sudah dari neneknya nenek saya (ha.ha.ha....sudah bingung menjelaskanya). di belakang rumah terdapat sungai yang sudah terlihat banyak semak-semak tak terurus, maklum yang menempati rumah seorang lelaki, yang pasti tak setelaten wanita dalam merawat rumah.

Dari depan rumah kita akan melihat danau di bawah sana dengan jajaran bukit yang mengelilinginya. Diselimuti awan di puncak bukit tertingginya. Gambar ini saya ambil di waktu subuh. Terlihat pagi hari yang indah

jika kita lihat ke arah atas akan terlihat jajaran bukit yang di selimuti awan biru.

Keesokan harinya saya dan keluarga berkeliling melihat kebun dan sawah yang sudah di miliki turun-temurun dari nenek Moyang saya. Menurut mamak (uncle) harta ini milik keturunan kami tak boleh di jual karena ini harta perak yang harus di jaga turun temurun, jika ada keturunan kami yang susah di rantau boleh lah pulang menggarap sawah dan kebun kami untuk kehidupanya. Siapa yang berhasil di rantau, hendak lah menjaga warisan tanah leluhur ini agar tidak hilang di ambil orang atau punah di makan waktu. Karena tanah dan perkebunan adat kebayakan tak memiliki sertifikat hak milik, hanya berdasarkan kepercayaan turun temurun maka sebagai keturunanya kami berhak tahu batas-batas mana harta perak leluhur kami secara adat.

Sawah yang terbentang luas di pinggir danau nan indah itu salah-satunya miliki keturunan kami, kebun dengan di tanami sekitar 30 pohon durian yang sedang berbunga masih di sambung dengan sawah yang menuju tepian jalan, dan satu lagi sawah yang tidak terurus di lereng bukit yang sering terjadi longsor. Mengetuk rasa iba saya akan kampung halaman yang tak pernah saya kunjungi, dahulu nenek moyang saya berjuang untuk mendapatkan tanah ini agar anak dan cucunya tak terlantar, bisa di bayangkan jaman pejajahan mulai dari belanda kemudian Jepang, dengan sekian hektar kebun dan sawah yang mereka garap, mereka jaga untuk anak dan cucu mereka kini terbengkalai penuh rumput-rumput liar dan gundukan tanah tak berguna.

Bermain dengan anak sapi tak terlewatkan buat saya, dua anak sapi yang baru saja di lahirkan itu terlihat dari tali pusatnya yang belum putus, membuat Karim keponakan saya begitu bahagia. Baru kali ini Karim melihat anak sapi, karena itu dia antusias sekali memberi makan kedua anak sapi itu dan sebentar-sebentar keisengan tanganya memuku-mukul tubuh kecil si sapi. Tanpa di sadari Karim si anak sapi menyenangi tingkah karim yang menggoda mereka, di kira mengajaknya bergurau kedua anak sapi itu tiba-tiba mengejar karim, saya yang sewaktu itu sedang memegang camerra reflek ingin menarik karim agar tidak di lompati anak sapi itu, namun sayang saya tak melihat lubang di hadapan saya sehingga akhirnya saya terjatuh dan tali sandal saya terputus, karim masih terus berlari-lari sambil menangis karena di kejar oleh dua anak sapi itu, untung saja ada sepupu saya yang tinggal di kampung dan sudah terbiasa dengan anak-anak sapi itu, dia yang kemudian menarik karim keponakan saya yang iseng itu hingga aman dari kejaran anak-anak sapi.

 "urang rantau lakeh lah pulang...." lagu ini mungkin tak asing lagi bagi mereka orang minang di rantau, namun sayang ajakan dari lagu ini di cemari oleh segelintir pedagang yang kemudian bila mereka tahu kami orang rantau langsung harga yang mereka dagangkan naik tinggi, tetapi bila sepupu saya yang menawarnya dengan bahasa kampung, langsung harga itu turun, atau jangan sesekali kamu samakan berbelanja di Jakarta dengan di kampung. Biasanya kalau perempuan belanja akan terus tawar menawar dari satu toko ke toko yang lain, bila semua toko sudah di jalani dan kemudian mendapatkan kesimpulan bahwa toko pertama lebih murah maka kita akan kembali ke toko pertama untuk membeli. Tetapi jangan lakukan ini di kampung, karena ketika kamu kembali lagi ke toko yang pertama untuk mendapatkan harga murah tak akan bisa bahkan ketika kita kembali akan di naikan lagi harganya karena dia tahu kita sangat menginginkan barang itu. Hal ini yang membuat saya kemudian merasa tak adil atas perlakuan mereka kepada saya, pada hal saya datang ke kampung karena saya ingin mengenal kampung saya dan melestarikan budaya serta adat-istiadat kami, siapa lagi yang bisa melestarikan itu semua kalau bukan kami orang rantau yang ingin mengenal kampung halaman kami.

Sayang saya tak punya banyak waktu menikmati keindahan kampung halaman saya, walau hanya tiga hari di kampung, setidaknya sudah tertanam dalam benak saya tak ada yang seindah kampung halaman saya (ha.ha.ha....Narsis). Tak lupa dalam perjalanan menuju pulang kami sempatkan singgah melihat keindahan ngarai sianok, bermain-main sebentar di sungai kecil yang jernih di kelilingi ngarai yang indah menambah sejuk suasana. Dari sana kami terus ke jam gadang bukit tinggi, benar-benar sesak bukit tinggi sekarang di penuhi oleh pedagang kaki lima hingga ke atas jam gadang berada, sungguh aset nasional yang satu ini tak begitu terjaga seperti yang sering di ceritakan orang-orang, bahkan terlihat kumuh dengan adanya pedagang kaki lima hingga ke pelataran jam gadang, untuk berfoto saja kami harus meminta ruang kosong pada pedagang dan orang-orang yang berlalu lalang di sana.

"Kampuang nan Jauah di mato" suatu saat saya akan kembali, saya akan kenalkan tanah leluhur saya kepada anak dan cucu saya, "Haiii urang kampuang...imbau lah kami pulang, dengan keramahan, lestarikan dan jagalah kebersihanya, lindungi pensi, rinua dan habitat danau dari pencemaran kerambah-kerambah yang terus berkembang, membuat kotor alam danau kita. Mamak-mamak dan datu-datu jangan menyerah terus kenalkan kami dengan adat istiadat kami, agar kemana pun dan di mana pun kami berada tetap bangga memiliki tanah leluhur maninjau yang kami cinta".